Medan (Humas) Di usianya yang masih muda, 24 tahun, Paradiba Sandi mendapatkan kesempatan besar yang tidak semua orang bisa rasakan, yaitu menjalankan ibadah haji. Namun, kepergiannya ke Tanah Suci bukan hanya sekadar menunaikan rukun Islam kelima. Perjalanan ini membawa misi yang lebih dalam, yakni menyambung niat sang ayah yang telah wafat sebelum sempat berangkat untuk melaksanakan haji.
“Ayah saya meninggal bulan Januari 2023. Jadwal keberangkatan hajinya keluar tahun 2025. Setelah berdiskusi dengan keluarga, saya yang diputuskan untuk berangkat menggantikannya. Kakak saya sedang menjalani program internship di Mataram, dan adik saya masih kuliah. Saat itu saya sudah lulus dan berada di rumah,” jelas Paradiba.
Namun, Paradiba berangkat ke Tanah Suci atas nama dirinya sendiri, bukan sebagai badal haji untuk sang ayah. Meski demikian, keluarganya tetap berupaya agar niat ibadah haji sang ayah tetap terlaksana. “Kami membayar seseorang yang sudah pernah berhaji untuk membadalkan haji ayah, sesuai dengan syarat yang berlaku. Karena syarat seseorang bisa membadalkan haji untuk orang lain, ia harus sudah haji terlebih dahulu. Jadi, insya Allah niat ayah tetap tersampaikan,” ujarnya.

Setibanya di Tanah Suci, Paradiba mengaku merasakan berbagai emosi yang datang bersamaan. Ia takjub saat pertama kali melihat Ka’bah, terharu karena teringat almarhum ayah, dan bahagia karena diberi kesempatan bisa beribadah langsung di tempat-tempat suci yang penuh orang untuk memanjatkan do’a.
“Saya sempat merasa sangat emosional, apalagi saat shalat dan berdoa di depan Ka’bah. Saya teringat ayah terus, apalagi beliau sangat ingin datang ke sini. Saya juga mengqadha shalat untuk beliau di Masjidil Haram, karena itu yang sangat ingin beliau lakukan,” ungkapnya.
Proses ibadah haji tidak selalu berjalan mulus. Tantangan terbesar yang ia rasakan adalah mengelola emosi dan kesabaran, terutama saat menghadapi keramaian, antrean panjang, dan cuaca panas. Salah satu momen sulit terjadi saat di Muzdalifah, ketika ia harus menunggu bus selama sekitar empat jam. Namun, semuanya dijalani dengan penuh keikhlasan.
Selama berada di Madinah dan Mekkah, ia banyak menerima bantuan dari jemaah lain yang membantunya melewati antrean panjang dan padatnya orang di sekitar tempat suci. “Saya sangat bersyukur karena banyak orang yang membantu, baik saat ingin masuk ke area makam Nabi Muhammad SAW maupun saat tawaf di Ka’bah. Semua terasa dimudahkan,” ucapnya.
Bagi Paradiba, haji bukan sekadar menyelesaikan rangkaian ibadah. Ia merasakan sendiri bahwa haji juga mengajarkan banyak hal dalam hidupnya, “saya belajar soal pentingnya sabar, ikhlas, dan taat kepada Allah. Saya juga merasa lebih dekat dengan Allah dan jadi lebih menghargai waktu dan kesehatan,” tambahnya.
Kepada generasi muda yang akan berangkat haji, Paradiba memberi pesan agar mereka benar-benar memanfaatkan kesempatan ini sebaik mungkin. “Fokus pada ibadah, jaga kesehatan, dan siapkan mental. Jangan sia-siakan waktu di Tanah Suci, karena kesempatan ini tidak datang dua kali’’, ujarnya saat diwawancarai.
Ia juga menyampaikan pesan khusus bagi siapa pun yang ingin membadalkan haji untuk orang tuanya. “Lakukan dengan ikhlas, semoga Allah menerima ibadah kita dan menjadikannya amal jariyah untuk orang tua kita yang sudah tiada’’, tutupnya.
Bagi Paradiba, perjalanan haji ini bukan sekadar ibadah pribadi, melainkan wujud cinta dan bakti kepada sang ayah. Walau sang ayah tidak ikut secara fisik, kenangan dan niat baik beliau terus hidup dalam setiap langkahnya di Tanah Suci.