KUA Medan Denai: Cegah Pernikahan Dini, Tanggung Jawab Bersama

Medan (Humas) – Kepala Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan Medan Denai, H. Yakhman Hulu, S.Ag, M.I.Kom, menjadi narasumber dalam kegiatan Sosialisasi dan Edukasi Pemahaman Hukum tentang Pernikahan Dini terhadap Siswa dan Siswi tingkat SMA yang diselenggarakan oleh Himpunan Mahasiswa Program Studi Hukum Keluarga Islam (HKI). Acara ini berlangsung di Aula Dispora Provinsi Sumatera Utara, Jalan Williem Iskandar, Medan, Senin (20/10/2025).

Dalam penyampaiannya, H. Yakhman Hulu menegaskan bahwa pernikahan dini adalah pernikahan yang dilakukan sebelum usia 19 tahun, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019. Menurutnya, pernikahan pada usia muda sangat rentan menimbulkan risiko serius bagi kesehatan fisik dan mental anak, serta berdampak jangka panjang terhadap pendidikan dan masa depan mereka.

“Pernikahan sebelum usia 19 tahun, seperti yang diatur oleh UU No. 16/2019, melibatkan anak-anak yang belum siap secara fisik, psikologis, dan sosial. Oleh karena itu, pencegahan pernikahan dini adalah tanggung jawab bersama bukan hanya pemerintah atau lembaga agama, tetapi juga siswa, keluarga, dan masyarakat luas,” tegasnya.

Pernikahan dini masih kerap terjadi di berbagai daerah di Indonesia, termasuk Sumatera Utara, akibat pengaruh budaya, tekanan ekonomi, rendahnya akses pendidikan, kurangnya pemahaman hukum, pergaulan bebas, dan pengaruh media sosial. Ia menjelaskan bahwa Pasal 7 ayat 1 UU No. 16 Tahun 2019 menetapkan usia minimal menikah adalah 19 tahun. Jika di bawah usia tersebut, pernikahan hanya bisa dilakukan dengan izin orang tua dan dispensasi dari pengadilan.

Yakhman juga memaparkan dampak negatif yang ditimbulkan dari pernikahan anak, mulai dari risiko komplikasi kehamilan, kematian ibu dan bayi, gangguan perkembangan reproduksi, hingga tekanan psikologis yang dapat berujung pada kekerasan rumah tangga dan putus sekolah. Data dari UNFPA menyebutkan bahwa angka kematian ibu paling tinggi terjadi pada kelompok usia 15–19 tahun.

Dalam konteks global, Indonesia masih berada di peringkat tinggi dalam jumlah pernikahan anak. Wilayah seperti Nusa Tenggara Barat dan beberapa kabupaten di Jawa Barat menjadi contoh daerah dengan angka yang signifikan. Penyebab utamanya adalah norma budaya, kurangnya edukasi kesehatan reproduksi, dan minimnya akses terhadap layanan perlindungan anak.

Yakhman Hulu mengajak siswa untuk aktif dalam pencegahan pernikahan dini, tidak hanya dengan menolak pernikahan di usia muda, tetapi juga dengan menjadi penyebar informasi di lingkungan sebayanya.

“Siswa diharapkan bukan hanya menjadi penerima informasi, tetapi menjadi agen perubahan: belajarlah hukum, lakukan edukasi sebaya, ajak keluarga untuk mendukung pendidikan dan menunda pernikahan hingga saat yang tepat,” ajaknya.

Lebih lanjut, ia mendorong siswa untuk fokus pada pendidikan dan cita-cita, aktif dalam kegiatan sekolah, menghindari pergaulan bebas, serta memanfaatkan teknologi informasi secara positif. Ia juga menekankan pentingnya penguatan nilai-nilai agama, pemberdayaan ekonomi keluarga, dan layanan konseling bagi remaja yang berisiko.

Kegiatan ini berlangsung lancar dengan antusiasme peserta yang tinggi, di bawah koordinasi Ketua Himpunan Mahasiswa Program Studi Hukum Keluarga Islam, Hafizah Zahra Aljawawi, dan Ketua Panitia, M. Fikri Pratama. Sosialisasi ini menjadi salah satu langkah penting dalam membangun kesadaran bahwa mencegah pernikahan dini adalah bagian dari upaya melindungi generasi masa depan.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *