Medan (Humas) — Kesadaran terhadap pentingnya pelestarian lingkungan hidup semakin mendapat tempat dalam ruang-ruang keagamaan. Hal ini terlihat dalam siaran Radio Maria Indonesia pada Kamis (26/6), di mana Ricardo Simamora, Penyuluh Agama Katolik dari Kementerian Agama Kota Medan, hadir sebagai narasumber membahas tema “Ekoteologi dan Tanggung Jawab Iman terhadap Lingkungan Hidup.”
Didampingi oleh host Dimas Simatupang, Ricardo menegaskan bahwa isu lingkungan bukan hanya soal teknis atau kebijakan semata, tetapi juga menyentuh aspek moral dan spiritual yang mendalam.
“Permasalahan lingkungan hidup adalah panggilan hati nurani dan iman. Ini bukan semata soal polusi atau sampah, melainkan soal bagaimana manusia memaknai dirinya sebagai bagian dari ciptaan Tuhan,” ujar Ricardo.
Ia menyoroti bagaimana tokoh-tokoh agama, termasuk Menteri Agama RI Prof. Dr. KH. Nasaruddin Umar, konsisten mengangkat pentingnya pelestarian lingkungan melalui pendekatan ekoteologi. Menurut Ricardo, Menteri Agama telah memperkenalkan gagasan bahwa alam adalah bagian dari ciptaan Ilahi yang harus dijaga, dihormati, dan tidak dieksploitasi secara serampangan.
“Alam bukan sekadar sumber daya untuk dieksploitasi, melainkan wujud nyata dari kehadiran Ilahi,” kutip Ricardo dari pernyataan Menteri Agama.
Sebagai bentuk komitmen nyata, Kementerian Agama saat ini mendorong gerakan menanam pohon secara masif, baik di kantor-kantor Kemenag, rumah ibadah, hingga lembaga pendidikan keagamaan. ASN dan PPPK di lingkungan Kementerian Agama juga diwajibkan ikut serta dalam program ini sebagai bentuk partisipasi langsung dalam menyelamatkan bumi.
Ricardo juga menekankan bahwa nilai-nilai cinta lingkungan telah mulai diintegrasikan dalam kurikulum pendidikan agama. Menurutnya, hal ini penting dalam membentuk karakter religius yang utuh.
“Ibadah sejati tidak berhenti pada ritual. Ia harus diterjemahkan dalam tindakan konkret yang membawa manfaat bagi sesama dan lingkungan,” tegasnya.
Dalam siaran tersebut, Ricardo juga mengaitkan konsep ekoteologi dengan ajaran Gereja Katolik, khususnya melalui ensiklik Laudato Si’ yang dikeluarkan oleh Paus Fransiskus pada 24 Mei 2015. Ensiklik tersebut menjadi tonggak penting dalam ajaran sosial Gereja yang menyoroti krisis ekologis sebagai cerminan dari krisis spiritual manusia.
“Bumi kita sedang menangis dan menderita akibat eksploitasi yang berlebihan dan ketidakpedulian global,” kutip Ricardo dari pernyataan Paus Fransiskus. “Kita diajak memandang seluruh ciptaan sebagai keluarga universal yang harus diperlakukan dengan keadilan dan kasih.”
Siaran ini menjadi pengingat penting bahwa pelestarian lingkungan bukan hanya tugas ilmuwan atau aktivis, tetapi juga merupakan panggilan iman lintas agama. Kolaborasi antara pemerintah, tokoh agama, dan media menjadi langkah strategis dalam membangun kesadaran kolektif untuk menjaga bumi, rumah bersama seluruh ciptaan Tuhan.